Sabtu, 30 Juni 2007

Tepukan Bak Api Biru Cinta : Pelatihan SEFT Tiga Hari

Kita semua tahu, nyala api yang berwarna biru akan punya daya tahan lebih lama dibanding api merah. Api biru, filosofi cinta yang dianut Kahlil Gibran. Faham cinta pujangga melankolik. yang hingga kematian menjemput tak pernah menemukan sosok pengganti Selma Karami, sang istri. Apalagi May Zeadah, sahabatnya, memilih tetap menjadi sahabat selamanya.

Filosofi cinta biru ini yang menggugah saya untuk menggambarkan riuhnya tepukan yang terus mengalir dari 80-an peserta pelatihan pada Ahmad Faiz Zainuddin – sang Master Spiritual Emotional Freedom Tehnique (SEFT).

Mulai hari pertama sampai ketiga, tepukan dan apresiasi seperti tak pernah berhenti disampaikan dengan tulus oleh peserta pada Ahmad Faiz. Beberapa kali apresiasi ini membuat sang Master kehilangan kata kata dan tertunduk. Haru.

Secara umum, pelatihan perdana dengan rentang waktu tiga hari ini, berjalan lancar. Peserta juga puas. Biasanya pelatihan dilakukan hanya dua hari. Dan yang lebih penting, semakin bermanfaat. Acara kali ini digelar 22 sampai 24 Juni 2007, bertempat di Sari Pan Pasific, Jakarta.

“Ini hanya soal waktu. Memang sekarang SEFT belum dikenal luas oleh masyarakat. Kalau masyarakat sudah tahu manfaatnya, pasti tidak akan ragu menggunakannya.” Ini komentar dokter Frans Tshai, mahaguru Perguruan Chikung Kylin Budaya Indonesia, satu diantara peserta.

Lelaki kelahiran 1942 ini menuturkan, Ahmad Faiz memang memanfaatkan titik akupuntur, yang semua orang tahu, itu bukan barang baru. Tapi politisi tionghoa ini angkat topi dengan perjalanan panjang Ahmad Faiz ngracik berbagai macam terapi dipadu dengan titik akupuntur, sehingga lahirlah SEFT.

Komentar lain datang dari Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Kabupaten Bogor. “Ini terobosan brilian. Saya ini sudah mengembara dari satu metode pengobatan ke pengobatan yang lain. Dan saya merasa pas dengan SEFT.”

Bahkan pada hari ketiga pelatihan, seorang peserta dengan perawakan sedang, celana kain cingkrang, jenggot sekedarnya, tiba tiba mengangkat tangan dan mengambil mic hanya untuk mengatakan “Ijinkan saya memanggil Pak Faiz, ustadz.”

Alasan orang ini cukup simple, siapapun yang memberikan ilmu walau hanya satu ilmu, maka layak dipanggil guru atau ustadz. Ungkapan ini yang membuat Ahmad Faiz – sang Master tertunduk, terdiam dan akhirnya meminta ijin forum di break beberapa menit. Sepertinya kelembutan hati sang master sedang tersentuh.

Tapi memang tiada gading yang tak retak. Dari banjirnya pujian, sanjungan juga kata yang mengelu - elukan, ada juga kritik. Diantaranya intonasi dialog Ahmad Faiz yang kurang bergelombang. Ini dikeluhkan satu dianatara 80-an peserta yang tak putus putus terkesima dengan tampilan Ahmad Faiz. Dia mengaku sempat tertidur pada sebagian sesi pelatihan.

Kritik ini perlahan menjelma cambuk kecil untuk terus dan terus memperbaiki semua hal, sekecil apapun itu. Sekaligus penegasan, bahwa Ahmad Faiz Zainuddin adalah manusia biasa, yang bukan tanpa kelemahan. Peace!. [Sumber : Logos Institute]